Jumat, 14 Oktober 2011

Tarung Peresean Lombok, Nusa Tenggara Barat

Tarung Peresean Tradisi Lombok

1. Asal-usul
Peresean adalah sebuah upacara tarian kuno yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin). Selama upacara berlangsung, para petarung (Pepadu) menyerang satu sama lain (saling empok kadu penjalin) dan menangkis sabetan lawannya dengan sebuah tameng dari kulit sapi atau kerbau. Peresean merupakan bagian dari upacara adat di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, yang menunjukkan kembali legenda ratu Mandalika yang bunuh diri karena melihat dua tunangannya berkelahi sampai mati untuk memperebutkannya. Dengan kata lain, kesenian ini dilatar belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja di masa lampau ketika harus berperang untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Ptarung peresean
Seorang Pepadu bersiap-siap dengan tongkat rotan,
ende, dan pelindung kepala.

Disamping itu, seni Peresean, bertujuan untuk menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seorang petarung (Pepadu) dalam pertandingan. Keunikan dari pertarungan ala Peresean ini adalah pesertanya tidak dipersiapkan sebelumnya karena para petarung diambil dari penonton sendiri ketika acara pertarungan dimulai. Ada dua cara untuk mendapatkan Pepadu, yaitu: pertama, Pekembar Tengaq (tengah) menunjuk langsung calon Pepadu dari para penonton yang hadir. Kedua, Pepadu yang telah memasuki arena pertarungan menantang salah satu penonton untuk melawannya.

Pertarungan diadakan dengan sistem ronde, yaitu terdiri dari lima ronde. Pemenang dalam Peresean ditentukan dengan dua cara yaitu: Pertama, ketika kepala atau anggota badan salah satu Pepadu mengeluarkan darah, maka pertarungan dianggap selesai dengan kemenangan di pihak Pepadu yang tidak mengeluarkan darah. Kedua, jika kedua Pepadu sama-sama mampu bertahan selama lima ronde, maka pemenangnya ditentukan dengan skor tertinggi. Skor didasarkan kepada pengamatan Pekembar Sedi terhadap jalannya pertarungan. Untuk menggugah semangat para Pepadu dan agar unsur hiburannya tidak hilang, acara tarung Pereseandiiringi oleh alunan musik. Ketika musik mengalun, para Pepadu harus berhenti bertarung dan menari mengikuti irama musik.

Tetap eksisnya keberadaan tarung Peresean nampaknya tidak semata-mata karena Peresean dapat dijadikan tolak ukur kemampuan dan harga diri dan berhubungan dengan legenda ratu Mandalika, tetapi karena adanya keyakinan masyarakat bahwa darah yang menetes berhubungan dengan hujan; semakin banyak darah menetes, semakin besar peluang terjadinya hujan.

2. Peralatan

Peralatan untuk melakukan Tarung Peresean adalah sebagai berikut:

Alat pemukul, sebuah tongkat yang terbuat dari rotan.
Ende, sebuah tameng yang dibuat dari kulit sapi/kerbau.
Alat musik, tujuannya untuk menggugah semangat bertanding para Pepadu. Alat-alat musik yang digunakan adalah:

Gong. Alat musik ini berbentuk bundaran yang ditengahnya terdapat sebuah bundaran lagi dan tepat di bundaran tersebut jika dipukul akan menghasilkan suara yag mendengung.
Sepasang kendang. Kendang berbentuk silinder dengan lubang yang besar ditengahnya, terbuat dari kayu dan ditutup oleh kulit sapi atau kambing yang telah disamak. Gendang ini dimainkan dengan cara ditepuk dengan dua telapak tangan pada kedua sisinya.
Rincik / simbal.
Kajar.
Suling, dibuat dari bambu dan diberi lubang agar menghasilkan bunyi yang merdu. Suling dimainkan oleh seorang sukaha (pemain) dengan cara ditiup.

3. Pemain

Yang terlibat dalam permainan ini adalah:
Pepadu (petarung). Jumlah petarung tidak dibatasi. Hanya saja, pertarungan dilakukan satu lawan satu.
Pekembar (wasit). Ada dua Pekembar, yaitu Pekembar Sedi (pinggir), bertugas memberikan nilai pada pasangan yang bertarung, dan Pekembar Tengaq (tengah), bertugas memimpin pertandingan.

4. Tempat

Permainan Peresean biasanya diadakan di tanah lapang. Alasan penggunaan tanah lapang karena permainan ini, biasanya, menarik perhatian banyak orang.

5. Peraturan

Untuk menjamin terjaganya sportifitas, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh Pepadu, diantaranya:

Secara umum, Peresean diadakan dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan. Setiap Pepadu bertarung selama lima ronde dan akhir setiap ronde/tarungan ditandai dengan suara peluit yang ditiup oleh Pekembar Tengaq.
Pertarungan secara otomatis berhenti jika dari salah satu Pepadu mengeluarkan darah. Keluarnya darah dari tubuh menunjukkan kekalahan.
Setiap Pepadu hanya boleh memukul bagian atas tubuh lawannya dan tidak boleh memukul bagian bawah tubuhnya (dari pinggang hingga kaki). Nilai tertinggi akan didapat oleh Pepadu jika ia mampu memukul kepala lawannya.

6. Pelaksanaan

Setelah acara dimulai, Pekembar Tengaq mengundang dua orang penonton untuk menjadi Pepadu. Setelah didapatkan dua orang Pepadu, keduanya memasuki arena pertandingan dengan membawa sebuah perisai (ende) dan alat pukul yang terbuat dari rotan. Sebelah tangan memegang ende untuk menangkis pukulan lawan dan sebelahnya lagi memegang tongkat untuk memukul lawan.
tarung peresean
Para Pepadu berusaha untuk memukul kepala lawannya.

Kedua Pepadu memasuki arena dan mengambil posisi berhadapan, Pekembar Tengaq berdiri di antara mereka. Kemudian Pekembar Tengaq menjelaskan hal-hal tekhnis pertarungan, misalnya: Peresean akan diadakan lima ronde, Pepadu tidak boleh memukul tubuh bagian bawah lawannya, Pepadu yang dari tubuhnya keluar darah berarti kalah, dan lain sebagainya. Setelah itu, Pekembar Tengaq memberi aba-aba untuk memulai pertarungan. Di sisi arena, Pekembar Sedi mengawasi jalannya pertarungan untuk memastikan tidak adanya kecurangan. Pada saat aba-aba dimulai, musik penggugah semangat kemudian dimainkan. Setelah waktu ronde habis, Pekembar Tengaq meniup peluit untuk memberikan kesempatan Pepadu untuk beristirahat dan memikirkan strategi bagaimana mengalahkan lawannya. Bahkan di saat bertarungpun, Pekembar Tengaq dapat menyuruh Pepadu untuk menari.
tarung peresean
Pepadu berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan lawannya.

Setelah diketahui pemenangnya, baik karena menang angka atau karena ada tubuh salah seorang Pepadu mengeluarkan darah, sang pemenang diberi kesempatan istirahat dan Pekembar Tengaq kembali mengundang atau menunjuk penonton lain untuk memasuki arena. Demikian seterusnya sampai didapatkan juaranya. Satu hal yang cukup menarik untuk dicermati adalah seberapapun parahnya luka yang ditimbulkan dalam Peresean tersebut, para Pepadu selalu mengakhiri Peresean dengan saling rangkul.

7. Nilai-Nilai

Peresean mempunyai beberapa nilai, diantaranya: pertama, historis, yaitu untuk mengenang legenda Ratu Mandalika. Kedua, kemampuan dan harga diri. Arena Peresean merupakan tempat para individu yang memiliki keberanian, ketangkasan, dan ketangguhan untuk menunjukkan kemampuan diri secara jantan dihadapan para penonton. Oleh karena acara Peresean disaksikan oleh banyak orang, maka mereka dituntut untuk bertarung secara sportif dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik, curang. Dengan cara demikian, masyarakat Lombok menunjukkan kemampuan dan harga dirinya.

Ketiga, sosial. Ketika seorang Pepadu sedang bertarung maka di sana sedang terjadi proses pelampiasan emosi (permusuhan) di antara dua individu yang bertarung, tetapi ketika acara tersebut usai mereka harus segera melupakannya. Hal ini ditunjukkan dengan keharusan mereka untuk saling berangkulan setelah acara selesai. Nilai sosial juga dapat dilihat dari keberadaan Pekembar Tengaq dan Pekembar Sedi. Keberadaan kedua Pekembar tersebut untuk menjamin terlaksananya Peresean secara adil dan sportif. Keempat, Sakral. Permainan ini merupakan salah satu bentuk permohonan kepada Tuhan agar menurunkan hujan. Mereka percaya bahwa, sebagaimana kepercayaan nenek moyang mereka, bahwa semakin banyak darah tertumpah maka kemungkinan hujan turun akan semakin nyata. (AS/bdy/10/09-07)

Sumber: Peresean,senggigi,Indonesia,dalam http://www.worldeventsguide.com/ event.ehtml?o=4152, diakses tanggal 27 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar