Sabtu, 15 Oktober 2011

Kesenian Tradisional Tari Rudat asal Lombok

Tari Rudat asal Lombok

Sejak awal perjumpaannya, agama senantiasa bernegosiasi dengan tradisi. Agama mempengaruhi tradisi lokal, demikian juga sebaliknya.

Pada awalnya, tari rudat tumbuh dan berkembang di pesantren sebagai sarana dakwah. Seiring berjalannya waktu, tarian ini menjadi tarian rakyat. Tak heran, kita pun bisa dengan mudah menjumpainya di daerah Kuningan, Banten, Lampung, bahkan di Karangasem Bali. Di Lombok Timur, tarian ini bahkan bisa dijumpai hampir di setiap Kecamatan.

Sampai kini, tidak diketahui secara pasti, asal-usul tari rudat dan siapa penciptanya. Sebagian berpendapat, tari rudat merupakan perkembangan dari zikir saman dan burdah, yaitu zikir yang disertai gerakan pencak silat.

Burdah adalah nyanyian yang diiringi rebana. Tradisi ini banyak berkembang di lingkungan pesantren tradisional. Sedangkan zikir saman adalah gerakan-gerakan yang diiringi zikir tanpa musik. Tradisi ini tumbuh subur di Aceh.

Zikir saman itu terdiri dari tiga tahapan. Pertama, menceritakan masalah haji. Kedua, melakukan gerakan mirip askar (tentara). Gerakan ketiga, ungkapan kegembiraan. Dalam tari rudat, yang biasa dipakai hanya tahapan kedua.

Konon, tarian ini berasal dari Turki yang masuk bersama penyebaran agama Islam di Nusantara pada abad ke-15. Oleh karena itu, kostum tarian ini banyak dipengaruhi pakaian serdadu Turki dan sangat kentara warna Islamnya, terutama dalam lagu dan musiknya.

Secara terminologi, rudat berasal dari kata “raudhah” yang berarti taman bunga. “Raudhah” juga digunakan untuk menyebut taman nabi yang terletak di masjid Nabawi, Madinah. Jumlah pemain tari rudat dibatasi jumlahnya, berkisar antara 12 sampai 24 orang, mulai dari penabuh waditra, penari, dan penyanyi.

Mereka berdandan ala prajurit. Berbaju lengan panjang warna kuning, celana sebatas lutut warna biru. Dan berkopiah panjang mirip aladin, warnanya merah dan dililit kain warna putih, yang disebut dengan tarbus. Kostum seragam ini menandakan bahwa mereka harus hidup rukun dengan tetangga.

Dari segi kostum, tarian ini terbagi dalam dua bagian. Barisan depan berjumlah empat orang memakai kostum lengkap dengan atributnya. Berselempang, bertopi miring mirip perwira, dan berkacamata hitam. Barisan belakang berjumlah 17 orang, berselempang merah menyala, berkopiah hitam. Adapun komando atau pemimpin tari ini biasanya berada di urutan paling depan, dengan memegang pedang.

Kemudian diiringi dengan melodi dan irama seperti lagu Melayu. Syairnya berbahasa Arab, ada pula yang berbahasa Indonesia. Adapun alat-alat musik yang digunakan di antaranya, rebana, jidur (rebana besar), trenteng (drum kecil), dap, mandolin, dan biola.

Dari segi gerak, rudat menggunakan gerakan silat, namun unsur tenaga tidak banyak mempengaruhi. Gerakan ini menunjukkan sikap waspada dan siap siaga prajurit Islam tempo dulu.

Oleh karena itu, tarian ini banyak menggunakan gerakan tangan dan kaki. Tangan diayun ke kanan kiri, mirip gelombang. Sesekali pemain juga melakukan gerakan memukul, menendang, menangkis, dan memasang kuda-kuda.

Formasi berikutnya adalah memutari lapangan. Sambil terus menyanyi dan diiringi musik yang sangat meriah. Sang pemimpin atau komando terus memberikan aba-aba sambil memperagakan gerak-gerak silat dan mengacung-acungkan pedang.

Pementasan tari rudat memiliki tiga bagian. Pertama, pembukaan atau ucapan salam/hormat. Syair yang diucapkan, “Tabik tuan-tuan, tabik nona-nona, mulailah bermain di hadapan tuan-tuan melihat keramaian. Kedua, bershalawat. Syairnya, “E, Allah hibismillah. Loh, Allah ya Allah Ya Allah hu.” Ketiga, penutup sekaligus permintaan maaf kalau ada salah laku dan ucap selama menari.

Rudat Banten

Seni rudat mulai ada dan berkembang di Banten pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).

Tidak banyak yang mengetahui seluk beluk tari rudat, karena hanya sedikit sesepuh yang masih hidup sampai sekarang. Di samping itu, naskah yang berisi sejarah rudat dan nilai-nilai filosofis rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang. Salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh di Banten.

Namun demikian, warga Banten meyakini bahwa rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian, diiringi musik dan shalawat. Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaian utama, tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.

Pasang surut Seni rudat Banten sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni rudat malah terkubur. Yakni pada masa kepemimpinan Sinuhun Kesultanan Banten IV, Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M).

Seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda. Karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa, berlatih bela diri, dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.

Kemudian Syekh Nawawi al-Bantani membangkitkan kembali tari rudat lewat muridnya yang berasal dari Sukalila, bernama Kyai Sulaiman. Sejak itu, rudat dijadikan media penyebar ajaran agama Islam. Sampai kini, tari rudat diwariskan secara turun-temurun selama lima generasi di desa Sukalila.

Desa Sukalila merupakan induk dari beberapa kelompok seni rudat. Di sinilah seni rudat asli Banten berakar dengan kuat. Warga desa ini menjadi satu dengan tradisi rudat. Mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia gemar memainkan kesenian tradisional khas Banten ini.

Syair Rudat

Yang paling menonjol dalam pementasan seni rudat adalah perpaduan unsur tari, olah kanuragan, dan shalawat. Pementasan diawali dengan lantunan shalawat As-Salam yang mengiringi masuknya penari. Selanjutnya, mereka menari diiringi musik dan lantunan syair rudat, yang diyakini sebagai peninggalan ulama Banten saat melakukan penyebaran agama Islam.

Syair yang biasa digunakan untuk mengiringi penari rudat di antaranya adalah Thalab-Naba, Khasbiyun,Ya khayyu ya Qayyum. Syair utamanya adalah Shalawat As-Salam, Khasbiyyun, Ya Khayyu Ya Qayyum, dan Shalawat Penutup yang akan mengiringi penari rudat keluar.

Jika diresapi secara mendalam, syair rudat memiliki makna batin yang kuat. Misalnya syair, “Ya Khayyu ya Qayyum, La khaula wa laa quwwata illa billahi aliyyil adzim.” Syair ini memiliki arti bahwa tiada daya dan upaya tanpa hidayah dan izin Allah.

Syair rudat mengisyaratkan munajat dan kepasrahan total akan keterbatasan manusia. Gerakan tariannya juga demikian, tiap tembang yang dilantunkan akan memiliki gerakan yang berbeda.

Tidak ada prosesi khusus yang dilakukan sebelum mementaskan rudat. Beberapa hal yang harus dimiliki oleh pemain rudat adalah tekun berlatih, ketulusan hati, dan kebersihan batin. Selanjutnya, secara khusus semua penabuh alat musik (pemusik), penari, dan pelantun tembang harus dikasih ijazah oleh sesepuhnya.

Kini, tarian Rudat banyak ditampilkan pada upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Khataman Al-Qur’an, gebyar Muharam, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari besar Islam lainnya. Atau dipertunjukkan dalam acara hiburan di lingkungan pesantren, upacara perkawinan, dan khitanan. Karena memang, norma agama akan menjadi kering tanpa tradisi, seni, dan budaya.

foto : antarafoto.com/artikel : berbagai sumber

1 komentar: