Selasa, 18 Oktober 2011

Wayang Kulit asal Lombok

Wayang Sasak

Wayang kulit asal Lombok atau yg lebih populer dengan sebutan Wayang Sasak merupakan bagian dari spiritualitas masyarakat Lombok.
Bagi masyarakat suku Sasak Lombok, wayang kulit tidak hanya berfungsi sebagai hiburan budaya, tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan spiritual masyarakat di Lombok sejak lama. Di dalamnya, ada banyak ajaran-ajaran luhur tentang komitmen untuk mengamati kehidupan harmonis, perilaku yang baik, dan kesetiaan dalam keyakinan agama yang diamati.

Sampai sekarang, banyak orang di Lombok masih bersemangat untuk menonton warisan leluhur mereka dalam bentuk pertunjukan wayang kulit. Selama (adat tradisional) fungsi adat, perayaan ulang tahun Nabi dan pesta pernikahan, kinerja wayang kulit selalu dihadiri oleh penonton dari berbagai usia dan status sosial. Para dalang (dalang-dalang) biasanya cerdik dapat menjaga penonton terpaku ke kursi mereka selama pertunjukan.
Karena ada tokoh masyarakat umum dalam wayang kulit Jawa, seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong dengan tindakan lucu mereka, wayang kulit Sasak (selanjutnya, Wayang Sasak) juga memiliki tokoh-tokoh seperti, Amaq Baok diwakili oleh, Inak Litet, Keseq, dan Amet. Mereka secara teratur muncul dalam acara untuk menemani para misionaris Islam pada perjalanan mereka untuk menyebarkan Islam di Lombok, diwakili oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Jayeng Rana, Umar Maya, Selandir, dll.

Wayang Sasak telah menjadi salah satu entitas penting dalam pengembangan budaya Sasak Lombok di masa lalu. Cerita-cerita di daerah Sasak Wayang berasal dari legenda Amir Hamzah, yang pada tahap kemudian diadaptasi oleh Yosodipuro II ke dalam bahasa Kawi selama era Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan aliran waktu, karya yang telah mengalami beberapa perubahan, yang dibuat oleh beberapa penyair Sasak, yang kemudian menjadi Serat Menak.

Direvasi dari cerita dari sumber yang disebutkan di atas juga menegaskan keberadaan Wayang Sasak sebagai media untuk penyebaran Islam, yang berbeda dari kinerja wayang di Jawa yang terutama menceritakan tentang Perang Mahabharata atau wayang Bali tentang agama upacara. Angka-angka dalam Wayang Sasak, Jayeng Rana seperti, Umar Maya, Maktal, Selandir, Taptanus, dll, juga menunjukkan bukti akulturasi antara karakter Hamzah Amir dan versi penulis Sasak 'yang memiliki nilai yang unik.

Titik perbedaan antara Wayang Sasak dan wayang dari daerah lain adalah bahwa kinerja Wayang Sasak tidak perlu banyak kru dan peralatan seni. Ketika cerita dimulai, dalang didampingi oleh dua asisten laki-laki yang tugasnya adalah untuk melayani dalang untuk menampilkan tokoh-tokoh wayang. Lalu, ada seperangkat alat musik yang sederhana dimainkan oleh penyelak, kajar, perincik, penyuling, dan pengabeh (seperti pemutar gong kecil, pemain suling, simbal dll pemutar).

Salah satu dalang yang paling terkenal di wilayah ini adalah HL Nasib AR, atau lebih akrab dikenal sebagai Mamik Nasib (63). Dalam rumahnya yang sederhana, di Desa Perigi, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, ada ukiran kecil dari seorang sarjana Islam, dikelilingi oleh Syahadat (rumus testimonial dibaca ketika seseorang menjadi muslim).
Tepat di bawah ukiran, ada lagi ukiran raksasa, lengkap dengan gigi mengerikan yang menurut pemilik, melambangkan keinginan duniawi dan kejahatan yang harus dikendalikan di bawah bimbingan ajaran agama.
Mamiq Nasib telah melakukan pertunjukan wayang sejak ia di tahun 5 dari Sekolah Rakyat (SR, Sekolah Rakyat Common, sama dengan Sekolah Dasar sekarang) pada tahun 1957. "Para Wayang Sasak bermain pada awalnya dilakukan sebagai media misionaris Islam selama periode propagasi Islam di Lombok lama. Propagasi dimulai dari daerah Bayan, sebuah desa di bawah Gunung Rinjani, "kata Mamiq Nasib, yang menyatakan bahwa keterampilan melakukan nya adalah bakat alami.

Pertunjukan wayang sebenarnya mengajarkan tentang kewajiban manusia untuk mengamati alam dan tuntutan menaati peraturan Allah. Tidak peduli seberapa besar Jayeng Rana atau figur Selandir adalah, sesegera dalang menempatkan mereka ke dalam kasusnya, maka keduanya tidak memiliki kekuatan apapun.

"Demikian juga, manusia tidak berbeda. Tidak peduli seberapa besar mereka, betapa kayanya mereka, jika Allah ingin mereka mati, maka mereka mati, "lanjutnya.
Masyarakat Sasak dengan roh-roh mereka yang kuat Islam masih mengamati semangat wayang dalam kehidupan mereka. Prinsip-prinsip ketaatan kepada Allah, bersikap baik terhadap orang lain, hidup sederhana, dan bersikap ramah masih ada sampai sekarang.
Sasak Lombok berasal dari frasa sak-sak lomboq (harus lurus). Hanya ada satu jalur untuk orang Lombok untuk mencapai kesenangan Tuhan mereka, yang memimpin hidup lurus, tidak cenderung untuk bersandar di sana-sini, dan mengamati hal-hal positif lainnya.

"Lenge tegaweq lenge tedait, bagus tegaweq bagus tedait (jika kita melakukan perbuatan buruk, kita akan mendapatkan hal-hal buruk, jika kita melakukan perbuatan baik, kita juga akan mendapatkan hal-hal baik). Prinsip ini melekat pada setiap orang Sasak-Lombok, "ungkapnya. (RA Majid)

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kesenian Tradisional Tari Rudat asal Lombok

Tari Rudat asal Lombok

Sejak awal perjumpaannya, agama senantiasa bernegosiasi dengan tradisi. Agama mempengaruhi tradisi lokal, demikian juga sebaliknya.

Pada awalnya, tari rudat tumbuh dan berkembang di pesantren sebagai sarana dakwah. Seiring berjalannya waktu, tarian ini menjadi tarian rakyat. Tak heran, kita pun bisa dengan mudah menjumpainya di daerah Kuningan, Banten, Lampung, bahkan di Karangasem Bali. Di Lombok Timur, tarian ini bahkan bisa dijumpai hampir di setiap Kecamatan.

Sampai kini, tidak diketahui secara pasti, asal-usul tari rudat dan siapa penciptanya. Sebagian berpendapat, tari rudat merupakan perkembangan dari zikir saman dan burdah, yaitu zikir yang disertai gerakan pencak silat.

Burdah adalah nyanyian yang diiringi rebana. Tradisi ini banyak berkembang di lingkungan pesantren tradisional. Sedangkan zikir saman adalah gerakan-gerakan yang diiringi zikir tanpa musik. Tradisi ini tumbuh subur di Aceh.

Zikir saman itu terdiri dari tiga tahapan. Pertama, menceritakan masalah haji. Kedua, melakukan gerakan mirip askar (tentara). Gerakan ketiga, ungkapan kegembiraan. Dalam tari rudat, yang biasa dipakai hanya tahapan kedua.

Konon, tarian ini berasal dari Turki yang masuk bersama penyebaran agama Islam di Nusantara pada abad ke-15. Oleh karena itu, kostum tarian ini banyak dipengaruhi pakaian serdadu Turki dan sangat kentara warna Islamnya, terutama dalam lagu dan musiknya.

Secara terminologi, rudat berasal dari kata “raudhah” yang berarti taman bunga. “Raudhah” juga digunakan untuk menyebut taman nabi yang terletak di masjid Nabawi, Madinah. Jumlah pemain tari rudat dibatasi jumlahnya, berkisar antara 12 sampai 24 orang, mulai dari penabuh waditra, penari, dan penyanyi.

Mereka berdandan ala prajurit. Berbaju lengan panjang warna kuning, celana sebatas lutut warna biru. Dan berkopiah panjang mirip aladin, warnanya merah dan dililit kain warna putih, yang disebut dengan tarbus. Kostum seragam ini menandakan bahwa mereka harus hidup rukun dengan tetangga.

Dari segi kostum, tarian ini terbagi dalam dua bagian. Barisan depan berjumlah empat orang memakai kostum lengkap dengan atributnya. Berselempang, bertopi miring mirip perwira, dan berkacamata hitam. Barisan belakang berjumlah 17 orang, berselempang merah menyala, berkopiah hitam. Adapun komando atau pemimpin tari ini biasanya berada di urutan paling depan, dengan memegang pedang.

Kemudian diiringi dengan melodi dan irama seperti lagu Melayu. Syairnya berbahasa Arab, ada pula yang berbahasa Indonesia. Adapun alat-alat musik yang digunakan di antaranya, rebana, jidur (rebana besar), trenteng (drum kecil), dap, mandolin, dan biola.

Dari segi gerak, rudat menggunakan gerakan silat, namun unsur tenaga tidak banyak mempengaruhi. Gerakan ini menunjukkan sikap waspada dan siap siaga prajurit Islam tempo dulu.

Oleh karena itu, tarian ini banyak menggunakan gerakan tangan dan kaki. Tangan diayun ke kanan kiri, mirip gelombang. Sesekali pemain juga melakukan gerakan memukul, menendang, menangkis, dan memasang kuda-kuda.

Formasi berikutnya adalah memutari lapangan. Sambil terus menyanyi dan diiringi musik yang sangat meriah. Sang pemimpin atau komando terus memberikan aba-aba sambil memperagakan gerak-gerak silat dan mengacung-acungkan pedang.

Pementasan tari rudat memiliki tiga bagian. Pertama, pembukaan atau ucapan salam/hormat. Syair yang diucapkan, “Tabik tuan-tuan, tabik nona-nona, mulailah bermain di hadapan tuan-tuan melihat keramaian. Kedua, bershalawat. Syairnya, “E, Allah hibismillah. Loh, Allah ya Allah Ya Allah hu.” Ketiga, penutup sekaligus permintaan maaf kalau ada salah laku dan ucap selama menari.

Rudat Banten

Seni rudat mulai ada dan berkembang di Banten pada masa pemerintahan Sinuhun Kesultanan Banten II, Pangeran Surosowan Panembahan Pakalangan Gede Maulana Yusuf (1570-1580 M).

Tidak banyak yang mengetahui seluk beluk tari rudat, karena hanya sedikit sesepuh yang masih hidup sampai sekarang. Di samping itu, naskah yang berisi sejarah rudat dan nilai-nilai filosofis rudat pun hanya dimiliki oleh satu sampai dua orang. Salah satunya merupakan anak dari mendiang pemilik naskah yang menjadi sesepuh di Banten.

Namun demikian, warga Banten meyakini bahwa rudat sebetulnya jurus silat yang dikembangkan menjadi tarian, diiringi musik dan shalawat. Seni tradisional Banten ini menjadi rangkaian utama, tatkala Kesultanan Banten mengadakan hajat besar atau dalam acara penyambutan tamu kehormatan yang berasal dari mancanegara.

Pasang surut Seni rudat Banten sangat erat kaitannya dengan sejarah Kesultanan Banten. Saat kedatangan Belanda, Seni rudat malah terkubur. Yakni pada masa kepemimpinan Sinuhun Kesultanan Banten IV, Pangeran Panembahan Maulana Abdulmufakir Mahmudin Abdul Kadir (1596-1651 M).

Seni tradisional khas Banten ini benar-benar dilarang Belanda. Karena dicurigai sebagai ajang untuk mengumpulkan masa, berlatih bela diri, dan menghimpun kekuatan untuk menentang Belanda.

Kemudian Syekh Nawawi al-Bantani membangkitkan kembali tari rudat lewat muridnya yang berasal dari Sukalila, bernama Kyai Sulaiman. Sejak itu, rudat dijadikan media penyebar ajaran agama Islam. Sampai kini, tari rudat diwariskan secara turun-temurun selama lima generasi di desa Sukalila.

Desa Sukalila merupakan induk dari beberapa kelompok seni rudat. Di sinilah seni rudat asli Banten berakar dengan kuat. Warga desa ini menjadi satu dengan tradisi rudat. Mulai dari anak-anak hingga orang lanjut usia gemar memainkan kesenian tradisional khas Banten ini.

Syair Rudat

Yang paling menonjol dalam pementasan seni rudat adalah perpaduan unsur tari, olah kanuragan, dan shalawat. Pementasan diawali dengan lantunan shalawat As-Salam yang mengiringi masuknya penari. Selanjutnya, mereka menari diiringi musik dan lantunan syair rudat, yang diyakini sebagai peninggalan ulama Banten saat melakukan penyebaran agama Islam.

Syair yang biasa digunakan untuk mengiringi penari rudat di antaranya adalah Thalab-Naba, Khasbiyun,Ya khayyu ya Qayyum. Syair utamanya adalah Shalawat As-Salam, Khasbiyyun, Ya Khayyu Ya Qayyum, dan Shalawat Penutup yang akan mengiringi penari rudat keluar.

Jika diresapi secara mendalam, syair rudat memiliki makna batin yang kuat. Misalnya syair, “Ya Khayyu ya Qayyum, La khaula wa laa quwwata illa billahi aliyyil adzim.” Syair ini memiliki arti bahwa tiada daya dan upaya tanpa hidayah dan izin Allah.

Syair rudat mengisyaratkan munajat dan kepasrahan total akan keterbatasan manusia. Gerakan tariannya juga demikian, tiap tembang yang dilantunkan akan memiliki gerakan yang berbeda.

Tidak ada prosesi khusus yang dilakukan sebelum mementaskan rudat. Beberapa hal yang harus dimiliki oleh pemain rudat adalah tekun berlatih, ketulusan hati, dan kebersihan batin. Selanjutnya, secara khusus semua penabuh alat musik (pemusik), penari, dan pelantun tembang harus dikasih ijazah oleh sesepuhnya.

Kini, tarian Rudat banyak ditampilkan pada upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Khataman Al-Qur’an, gebyar Muharam, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari besar Islam lainnya. Atau dipertunjukkan dalam acara hiburan di lingkungan pesantren, upacara perkawinan, dan khitanan. Karena memang, norma agama akan menjadi kering tanpa tradisi, seni, dan budaya.

foto : antarafoto.com/artikel : berbagai sumber

Jumat, 14 Oktober 2011

Tarung Peresean Lombok, Nusa Tenggara Barat

Tarung Peresean Tradisi Lombok

1. Asal-usul
Peresean adalah sebuah upacara tarian kuno yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin). Selama upacara berlangsung, para petarung (Pepadu) menyerang satu sama lain (saling empok kadu penjalin) dan menangkis sabetan lawannya dengan sebuah tameng dari kulit sapi atau kerbau. Peresean merupakan bagian dari upacara adat di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, yang menunjukkan kembali legenda ratu Mandalika yang bunuh diri karena melihat dua tunangannya berkelahi sampai mati untuk memperebutkannya. Dengan kata lain, kesenian ini dilatar belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja di masa lampau ketika harus berperang untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Ptarung peresean
Seorang Pepadu bersiap-siap dengan tongkat rotan,
ende, dan pelindung kepala.

Disamping itu, seni Peresean, bertujuan untuk menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seorang petarung (Pepadu) dalam pertandingan. Keunikan dari pertarungan ala Peresean ini adalah pesertanya tidak dipersiapkan sebelumnya karena para petarung diambil dari penonton sendiri ketika acara pertarungan dimulai. Ada dua cara untuk mendapatkan Pepadu, yaitu: pertama, Pekembar Tengaq (tengah) menunjuk langsung calon Pepadu dari para penonton yang hadir. Kedua, Pepadu yang telah memasuki arena pertarungan menantang salah satu penonton untuk melawannya.

Pertarungan diadakan dengan sistem ronde, yaitu terdiri dari lima ronde. Pemenang dalam Peresean ditentukan dengan dua cara yaitu: Pertama, ketika kepala atau anggota badan salah satu Pepadu mengeluarkan darah, maka pertarungan dianggap selesai dengan kemenangan di pihak Pepadu yang tidak mengeluarkan darah. Kedua, jika kedua Pepadu sama-sama mampu bertahan selama lima ronde, maka pemenangnya ditentukan dengan skor tertinggi. Skor didasarkan kepada pengamatan Pekembar Sedi terhadap jalannya pertarungan. Untuk menggugah semangat para Pepadu dan agar unsur hiburannya tidak hilang, acara tarung Pereseandiiringi oleh alunan musik. Ketika musik mengalun, para Pepadu harus berhenti bertarung dan menari mengikuti irama musik.

Tetap eksisnya keberadaan tarung Peresean nampaknya tidak semata-mata karena Peresean dapat dijadikan tolak ukur kemampuan dan harga diri dan berhubungan dengan legenda ratu Mandalika, tetapi karena adanya keyakinan masyarakat bahwa darah yang menetes berhubungan dengan hujan; semakin banyak darah menetes, semakin besar peluang terjadinya hujan.

2. Peralatan

Peralatan untuk melakukan Tarung Peresean adalah sebagai berikut:

Alat pemukul, sebuah tongkat yang terbuat dari rotan.
Ende, sebuah tameng yang dibuat dari kulit sapi/kerbau.
Alat musik, tujuannya untuk menggugah semangat bertanding para Pepadu. Alat-alat musik yang digunakan adalah:

Gong. Alat musik ini berbentuk bundaran yang ditengahnya terdapat sebuah bundaran lagi dan tepat di bundaran tersebut jika dipukul akan menghasilkan suara yag mendengung.
Sepasang kendang. Kendang berbentuk silinder dengan lubang yang besar ditengahnya, terbuat dari kayu dan ditutup oleh kulit sapi atau kambing yang telah disamak. Gendang ini dimainkan dengan cara ditepuk dengan dua telapak tangan pada kedua sisinya.
Rincik / simbal.
Kajar.
Suling, dibuat dari bambu dan diberi lubang agar menghasilkan bunyi yang merdu. Suling dimainkan oleh seorang sukaha (pemain) dengan cara ditiup.

3. Pemain

Yang terlibat dalam permainan ini adalah:
Pepadu (petarung). Jumlah petarung tidak dibatasi. Hanya saja, pertarungan dilakukan satu lawan satu.
Pekembar (wasit). Ada dua Pekembar, yaitu Pekembar Sedi (pinggir), bertugas memberikan nilai pada pasangan yang bertarung, dan Pekembar Tengaq (tengah), bertugas memimpin pertandingan.

4. Tempat

Permainan Peresean biasanya diadakan di tanah lapang. Alasan penggunaan tanah lapang karena permainan ini, biasanya, menarik perhatian banyak orang.

5. Peraturan

Untuk menjamin terjaganya sportifitas, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh Pepadu, diantaranya:

Secara umum, Peresean diadakan dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan. Setiap Pepadu bertarung selama lima ronde dan akhir setiap ronde/tarungan ditandai dengan suara peluit yang ditiup oleh Pekembar Tengaq.
Pertarungan secara otomatis berhenti jika dari salah satu Pepadu mengeluarkan darah. Keluarnya darah dari tubuh menunjukkan kekalahan.
Setiap Pepadu hanya boleh memukul bagian atas tubuh lawannya dan tidak boleh memukul bagian bawah tubuhnya (dari pinggang hingga kaki). Nilai tertinggi akan didapat oleh Pepadu jika ia mampu memukul kepala lawannya.

6. Pelaksanaan

Setelah acara dimulai, Pekembar Tengaq mengundang dua orang penonton untuk menjadi Pepadu. Setelah didapatkan dua orang Pepadu, keduanya memasuki arena pertandingan dengan membawa sebuah perisai (ende) dan alat pukul yang terbuat dari rotan. Sebelah tangan memegang ende untuk menangkis pukulan lawan dan sebelahnya lagi memegang tongkat untuk memukul lawan.
tarung peresean
Para Pepadu berusaha untuk memukul kepala lawannya.

Kedua Pepadu memasuki arena dan mengambil posisi berhadapan, Pekembar Tengaq berdiri di antara mereka. Kemudian Pekembar Tengaq menjelaskan hal-hal tekhnis pertarungan, misalnya: Peresean akan diadakan lima ronde, Pepadu tidak boleh memukul tubuh bagian bawah lawannya, Pepadu yang dari tubuhnya keluar darah berarti kalah, dan lain sebagainya. Setelah itu, Pekembar Tengaq memberi aba-aba untuk memulai pertarungan. Di sisi arena, Pekembar Sedi mengawasi jalannya pertarungan untuk memastikan tidak adanya kecurangan. Pada saat aba-aba dimulai, musik penggugah semangat kemudian dimainkan. Setelah waktu ronde habis, Pekembar Tengaq meniup peluit untuk memberikan kesempatan Pepadu untuk beristirahat dan memikirkan strategi bagaimana mengalahkan lawannya. Bahkan di saat bertarungpun, Pekembar Tengaq dapat menyuruh Pepadu untuk menari.
tarung peresean
Pepadu berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan lawannya.

Setelah diketahui pemenangnya, baik karena menang angka atau karena ada tubuh salah seorang Pepadu mengeluarkan darah, sang pemenang diberi kesempatan istirahat dan Pekembar Tengaq kembali mengundang atau menunjuk penonton lain untuk memasuki arena. Demikian seterusnya sampai didapatkan juaranya. Satu hal yang cukup menarik untuk dicermati adalah seberapapun parahnya luka yang ditimbulkan dalam Peresean tersebut, para Pepadu selalu mengakhiri Peresean dengan saling rangkul.

7. Nilai-Nilai

Peresean mempunyai beberapa nilai, diantaranya: pertama, historis, yaitu untuk mengenang legenda Ratu Mandalika. Kedua, kemampuan dan harga diri. Arena Peresean merupakan tempat para individu yang memiliki keberanian, ketangkasan, dan ketangguhan untuk menunjukkan kemampuan diri secara jantan dihadapan para penonton. Oleh karena acara Peresean disaksikan oleh banyak orang, maka mereka dituntut untuk bertarung secara sportif dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik, curang. Dengan cara demikian, masyarakat Lombok menunjukkan kemampuan dan harga dirinya.

Ketiga, sosial. Ketika seorang Pepadu sedang bertarung maka di sana sedang terjadi proses pelampiasan emosi (permusuhan) di antara dua individu yang bertarung, tetapi ketika acara tersebut usai mereka harus segera melupakannya. Hal ini ditunjukkan dengan keharusan mereka untuk saling berangkulan setelah acara selesai. Nilai sosial juga dapat dilihat dari keberadaan Pekembar Tengaq dan Pekembar Sedi. Keberadaan kedua Pekembar tersebut untuk menjamin terlaksananya Peresean secara adil dan sportif. Keempat, Sakral. Permainan ini merupakan salah satu bentuk permohonan kepada Tuhan agar menurunkan hujan. Mereka percaya bahwa, sebagaimana kepercayaan nenek moyang mereka, bahwa semakin banyak darah tertumpah maka kemungkinan hujan turun akan semakin nyata. (AS/bdy/10/09-07)

Sumber: Peresean,senggigi,Indonesia,dalam http://www.worldeventsguide.com/ event.ehtml?o=4152, diakses tanggal 27 September 2007

Annual Event "BAU NYALE" di Lombok Timur

ACARA BAU NYALE (Menangkap Nyale)

Acara puncak "Festival Pesta Rakyat Bau Nyale" tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal 22-23 Februari 2011. Kegiatan pesta adat yang dilaksanakan sekali dalam satu tahun ini akan dimeriahkan dengan kegiatan hiburan dan lomba-lomba. Jenis lomba yang akan diadakan, antara lain : lomba Bekayaq, Berbalas Pantun, Begambus, Cilokaq, Peresean, dan Lomba Perahu Dayung. Pada malam puncak, tanggal 23 Februari 2011 akan dimeriahkan dengan hiburan rakyat, berupa Wayang Kulit, Penginang Robek, Drama Tradisional, Musik Band, dan pementasan teater "Kisah Puteri Nyale. Acara puncak "Bau Nyale" ini tidak hanya akan dihadiri oleh masyarakat umum, namun Panitia juga mengundang pejabat pemerintah untuk hadir dan ikut serta dalam pesta rakyat tersebut. Lokasi pesta rakyat ini, akan dipusatkan di Pantai Kaliantan, desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.

Pesta tahunan ini biasanya dihadiri ribuan pengunjung segala usia yang tumpah ruah merayakan acara ini. Pada tahun lalu saja, diperkirakan belasan ribu pengunjung hadir memeriahkan acara sekali setahun ini. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Timur telah menetapkan acara ini menjadi acara tahunan (Annual Event) dan telah memasukkannya dalam "Calender of Events 2011". Kepala Dinas Budpar Lombok Timur, H. Gufranuddin, mengatakan bahwa event tahunan "Bau Nyale" merupakan event yang paling banyak pengunjungnya disamping event-event budaya lainnya di daerah ini. "Upacara Bau Nyale di Lombok Timur ini sudah sangat mengakar di kalangan masyarakat kita dan telah dilaksanakan secara turun temurun sebagai pesta adat tahunan", katanya. "Karena itu, upacara ini perlu mendapat dukungan dari Pemerintah baik Kabupaten, Provinsi maupun Pusat; karena berpotensi sebagai asset budaya yang memiliki nilai jual bagi pariwisata. Pesta Rakyat Bau Nyale tahun ini juga sebagai upaya Pemkab Lombok Timur untuk mendukung dan mensukseskan program Visit Lombok Sumbawa 2012", tambahnya.

Sesungguhnya pesta rakyat Bau Nyale di Pantai Kaliantan Lombok Timur ini jauh lebih ramai dari tempat-tempat lainnya, karena sudah menjadi tradisi masyarakat selatan sejak zaman dulu. Tanpa adanya unsur Pemerintah yang mengkoordinir acara inipun, masyarakat setempat akan tetap datang ke lokasi ini untuk menangkap cacing laut yang disebut "nyale" ini.

Diposting Oleh :
Bag Promosi Pariwisata Kab.Lotim
Kamis,10 Februari 2011 07:15:14 WIB

Minggu, 02 Oktober 2011

Acara Nyongkolan Adat Lombok

Nyongkolan
Sebuah tradisi yang terus dan akan selalu berkembang di komunitas Sasak pulau Lombok, NTB. tapi tidak sedikit yang tahu dan memaknai arti dari tradisi ini.

Nyongkolan, yaitu sebuah acara yang dimana sepasang pengantin di arak beramai-ramai menuju rumah mempelai Wanita dengan di ikuti beberapa jenis alat musik dan kesenian khas suku Sasak, tradisi ini sudah berlangsung sangat lama, tapi sampai sekarang asal muasal dari nyongkolan ini masih samar, apakah untuk penyebaran agama islam, atau untuk kesenian khas suku Sasak.

Sebelum acara nyongkolan ini, secara adat masih harus dilakukan setelah beberapa tahap acara, seperti acara Melai’an, dimana mempelai wanita diculik terlebih dahulu oleh mempelai pria, tetapi dengan kesepakatan terlebih dahulu, Melai’an ini, sudah jarang dilakukan, karena dalam pemikiran saat ini, mempelai pria dianggap tidak mempunyai keberanian untuk meminang mempelai wanita, tapi disatu sisi, dianggap sebagai lelaki sejati, karena berani mengambil resiko, sebagai kesiapan menempuh hidup baru.

Dalam acara Melai’an ini, banyak sekali resikonya, terutama ketika (misalnya penulis) Melai’an wanita, kemudian terjadi pertemuan dengan pria yang ternyata juga suka dengan sang wanita, maka akan terjadi perebutan antara kedua lelaki, bisa saja terjadi hal yang tidak di inginkan.

Kita kembali ke Acara Nyongkolan itu sendiri, Nyongkolan bagi sebagian anak muda zaman sekarang juga di gunakan untuk mencari pasangan/jodoh, Tradisi yang selalu dilaksanakn oleh Suku sasak ini, bisa terus dilestarikan sehingga dapat memancing kedatangan Wisatawan luar negeri, bukan hanya acaranya pakaian yang dikenakan atau “Godek Nongkek”, alat musik Gendang Bele’ juga sangat berpotensi menjadi cagar budaya NTB.

Kita berharap, semua tradisi yang dimiliki oleh Suku Sasak menjadi Simbol Adat dan Budaya yang terus berkembang walaupun perkembangan zaman terus berubah

Acara Gendang Belek Adat Lombok

Gendang Beleq Lombok
Siapapun yang pernah berlibur ke Lombok, pasti sepakat bahwa pulau mungil yang terbujur di sebelah timur Bali ini sangat indah. Pantai-pantai berpasir putih, Gunung Rinjani dan keragaman hayati bawah laut di kawasan Pulau Moyo, semua kekayaan tersebut dimiliki oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesungguhnya, masih banyak lagi kekayaan yang dimiliki Lombok maupun NTB. Kebudayaan serta tradisi berbagai suku yang telah turun temurun di tempat ini, memiliki daya tarik yang wajib untuk dinikmati. Namun, berbagai tradisi itu sebagian besar hanya bisa Anda lihat pada momen tertentu. Misalnya dalam event budaya terbesar di NTB yakni, Bulan Apresiasi Budaya (BAB).

BAB adalah event budaya tahunan di Lombok dan mencakup seluruh NTB. Dan tahun ini digelar pada tanggal 16 Juli - 18 Agustus 2007 lalu di Mataram, Lombok, di saat high season alias ramainya kunjungan wisatawan di Lombok.

Sebuah Penyempurnaan

Gendang Beleq Lombok BAB sebenarnya mcrupakan pengembangan dan penyempurnaan dari acara yang sebelumnya dikenal dengan Pekan Apresiasi Budaya (PAB). Kalau sebelumnnya PAB hanya digelar selama seminggu lamanya, maka setelah berubah menjadi BAB, waktu pelaksanaan pun diperpanjang menjadi sebulan lebih. Perubahan ini dilakukan karena para tokoh budaya dan adat merasa bahwa waktu pelaksanaan yang sangat singkat, tidak cukup untuk mengakomodir partisipasi seluruh elemen masyarakat yang ada. Dengan waktu penyelenggaraan yang lebih lama, diharapkan manfaat dari event ini akan lebih terasa bagi masyarakat dan tentunya juga menjadi bonus tambahan untuk para wisatawan.

Berlangsung di kompleks kantor Gubernur, acara pembukaan BAB dikemas dalam Sebuah pawai budaya yang menarik. Selain Gubernur NTB H. Lalu Srinata dan jajarannya, hadir pula Dirjen Kebudayaan Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dr. Mukhlis Paeni yang membuka BAB secara resmi.

Dalam acara pembukaan, setiap kontingen tampil dengan keunikan serta kekhasan tradisi dan budaya masing-masing, yang diwujudkan dalam bentuk tari-tarian, prosesi pernikahan, permainan alat musik tradisional, permainan tradisional, dan lain sebagainya.

Tari Berejak yang dibawakan oleh anak-anak, tampil sebagai pembuka. Berasal dari permainan Bidanari (permainan anak yang dimainkan pada sore atau malam hari di saat bulan purnama), tarian ini menggambarkan kehidupan anak nelayan di pesisir pantai. Mereka bermain dengan riang dengan menirukan suara-suara khas para nelayan ketika berejok atau menangkap ikan di lautan. Tarian ini juga berisi nyanyian, pantun dan disisipkan lagu-lagu modern.

Gendang Beleq Lombok Tradisi khas Sasak Lombok yang juga ditampilkan dalam pawai budaya adalah Nyongkolan. Merupakan prosesi yang dilakukan oleh sepasang pengantin usai upacara perkawinan. Dengan mengenakan busana adat yang khas, pengantin dan keluarga yang ditemani oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat atau pemuka adat beserta sanak saudara, berjalan keliling desa. Tradisi ini juga merupakan sebuah bentuk "pengumuman" bahwa pasangan tersebut sudah resmi menikah. Hingga saat ini, Nyongkolan masih tetap berlangsung dan kerap menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan di Mataram dan sekitarnya.

Lombok juga terkenal memiliki seni musik yang unik, dikenal dengan Gendang Beleq. Dalam parade budaya ini, kreasi musik dengan tabuhan gendang ini, dimainkan secara rembaq alias massal. Aksi para penabuh gendang yang mengenakan busana tradisional, menyatu dengan irama gendang. Atraksi langka lainnya yang bisa disaksikan adalah Berampok, sebuah bentuk permainan saat panen tiba.

Tradisi ini juga sebagai bentuk perayaan atas keberhasilan panen di Sumba Barat. Musik orkestra khas Lombok yang terdiri dari alat musik petik gambus, biola, suling dan gendang, mengalunkan nada khas atau Cilokak, Rudat (teater tradisional yang bernafaskan Islam) dan Kamput, merupakan orkestra yang dilengkapi kuda-kudaan dari kayu atau biasa disebut sebagai jaran kamput.

Kemeriahan di Senggigi

Maraknya pesta budaya NTB tak hanya terasa di Mataram, tapi juga di Pantai Senggigi. Event yang dikemas apik ini bernama Festival Senggigi dan dipusatkan di Senggigi Square. Pembukaan Festival Senggigi juga dimeriahkan dengan pawai budaya beberapa hari sebelumnya. Salah satu daya tarik utama dari festival Senggigi adalah pagelaran stick fighter atau Presean. Dilangsungkan setiap hari di Senggigi Square. Anda bisa menonton tinju tradisonal khas Lombok yang seru dan menegangkan.

Presean sendiri merupakan ajang untuk menunjukkan keberanian kaum pria suku Sasak. Pada tradisi ini, para petarung akan berduel secara head to head dan setiap petarung dibekali dengan ende (tameng) dan sebilah rotan. Keduanya akan berlaga dalam babak-babak yang sudah ditentukan.

Sama seperti tinju atau olah raga beladiri lainnya, jalannya pertarungan akan diawasi oleh Pakembar atau wasit. Aturan mainnya sangat sederhana namun unik. Petarung yang berhasil melukai bagian kepala lawannya terlebih dahulu, hingga meneteskan darah segar, maka dia akan dinobatkan sebagai pemenang. Suasana arena makin meriah dengan iringan musik gamelan selama pertarungan berlangsung.

Gendang Beleq Lombok Selain Presean, Festival Senggigi juga menyuguhkan aneka hiburan berupa tarian yang dipentaskan setiap malam. Para penari bukan hanya menampilkan berbagai keahlian mereka di atas pentas, tapi juga mengajak penonton atau wisatawan untuk ikut menari bersama di atas panggung.

Berburu aneka suvenir cantik khas Lombok selama penyelenggaraan Festival Senggigi, adalah waktu yang tepat. Anda bisa menyusuri otlet-otlet yang berjajar di sepanjang arena dan memilih ukiran, kain tenun serta souvenir khas lain yang memikat hati. Serunya aneka kerajinan tersebut ditawarkan dengan harga yang spesial. Menarik bukan?

Penyelenggaraan BAB di Mataram, Lombok, tentunya harus dipertahankan. Sebab, pagelaran ini tak hanya merupakan ajang berkumpul dan berkreasi seluruh seniman dan budayawan di NTB, namun juga merupakan sebuah wadah untuk mengekspresikan diri dan melestarikan budaya.

Event ini pun mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain menikmati saat-saat berlibur, wisatawan lokal bisa menjadikan event ini sebagai momen yang tepat untuk lebih mengenal dan memahami kebudayaan yang ada di negeri sendiri. Seiring dengan program "Kenali Negerimu, Cintai Negerimu" yang didengungkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Banyak kalangan yang juga berharap bahwa di masa mendatang penyelenggaraan BAB dapat lebih dikemas dengan lebih menarik dan lebih terpadu dengan program-program serupa. Agar masyarakat dan wisawatan bisa lebih menikmati setiap event yang disuguhkan, sekaligus mendatangkan hasil yang lebih maksimal.

Sumber: Majalah Tamasya